Solo, petenews.co.id
Di bantaran Kali Pepe, di tengah riak air yang tak pernah lelah mengalirkan kisah hidup, Jokowi lahir. Bukan di ruang bersalin yang harum, bukan di tempat-tempat yang disediakan untuk mereka yang dilahirkan dari keluarga dengan darah biru. Di sana, di tanah becek, ia pertama kali belajar bahwa hidup adalah perjuangan—tanpa peduli siapa pun yang memandangnya.
Di sana, di tempat yang sering kali terendam banjir, di rumah yang setiap saat bisa digusur, ia tumbuh. Ayahnya seorang penjual bambu keliling, ibunya seorang perempuan yang sepanjang hidupnya hanya mengenal lelah. Bukan keluarga yang bisa memberi pelajaran tentang kemewahan atau nama besar, tetapi mereka mengajarkan Jokowi bahwa keteguhan hati lebih penting daripada apa pun. Ketika hidup menggulung kita ke dalam kegelapan, hanya mereka yang sanggup bertahan yang akan melihat cahaya.
Dan Jokowi bertahan. Ia lulus dari SD Negeri Tirtoyoso, kemudian SMPN 1 Surakarta, SMAN 6 Surakarta, dan akhirnya melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kehutanan. Dalam setiap langkahnya, ia seperti mereka yang tidak pernah disiapkan untuk menang, tetapi terus saja berjuang meski tahu di ujung sana jalan tak mudah. Ijazahnya, yang kini dipertanyakan, adalah bukti bahwa jalan itu pernah dilaluinya dengan darah dan keringat.
Namun, bukankah ini semua yang bisa dipahami oleh mereka yang hanya bisa melihat angka dan data, bukan? Ketika Jokowi mulai dikenal, ketika ia mulai menyuarakan hak-hak mereka yang terpinggirkan, mereka yang terbiasa dengan kenyamanan dunia berusaha menggoyahkan fondasinya. Ijazahnya—itu yang mereka sebut palsu, padahal semuanya bisa dibuktikan, semuanya sudah tercatat. UGM mengonfirmasi, teman-temannya mengingatnya. Tapi tak peduli bukti apa yang ada, bagi mereka yang dibutakan oleh kebencian, kebenaran hanyalah sebuah pilihan yang bisa diperdebatkan.
Kini, pengadilan kembali menjadi panggung di mana kebenaran diuji. Bukankah ironis, bahwa seorang pria yang sudah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk negara ini, masih dipaksa untuk membuktikan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan? Ijazah itu bukan hanya kertas, bukan sekadar tanda pengakuan akademik. Ia adalah jejak-jejak perjalanan yang sulit, jejak-jejak yang tidak akan pernah hilang meskipun air kali terus mengalir.
Dan meskipun Jokowi telah mengakhiri tugasnya sebagai Presiden, meskipun ia telah mengabdikan dirinya pada bangsa ini, masih ada yang terus mengejarnya dengan tuduhan-tuduhan kosong. Mereka tidak peduli bahwa ia telah memberi segalanya untuk negara ini. Mereka hanya peduli pada omongan kosong, pada cerita yang tak pernah ada, pada kebohongan yang mereka ciptakan sendiri.
Tetapi rakyat yang mengenal Jokowi dengan baik, tahu bahwa perjuangannya bukan untuk gelar atau harta. Ia bukan orang yang terlahir untuk hidup dalam kemewahan, tetapi ia terlahir untuk berjuang. Rakyat tahu bahwa dari bantaran kali, ia telah membawa harapan bagi mereka yang tak pernah dilihat oleh mata-mata dunia. Dan rakyat ini, yang lebih tahu kebenaran dari segala kebohongan yang beredar, akan tetap berdiri di belakangnya.
Akhirnya, seperti air yang terus mengalir tanpa mengenal batas, kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Mereka yang terus mencoba menghalanginya, mungkin akan merasa puas untuk sementara. Tetapi sejarah tidak pernah menipu.
Jokowi bukan hanya cerita tentang ijazah, tetapi cerita tentang keberanian untuk berdiri meski dihantam segala macam badai. Karena dalam kehidupan, hanya mereka yang bertahan dalam kebenaran yang akan dikenang—dan kebenaran tak bisa ditenggelamkan, meskipun air bah mencoba menyembunyikannya.
MK/Red