DPR GAGAL LOGIKA (Dr. Andina Elok Puri Maharani, S.H., M.H, pakar Hukum Tata Negara FH UNS)

Semarang, petenews.co.id

“Lex Superior Derogate Legi Inferiori”
Adegium hukum diatas mengandung arti bahwa hukum yang rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Akhir-akhir ini hukum di Indonesia mengalami bencana. Bencana hukum terhangat terjadi beberapa waktu lalu ketika DPR melakukan revisi tata tertibnya. Perubahan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang tata Tertib berimplikasi DPR dapat melakukan evaluasi berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR. Dalam konteks ini, semua pejabat negara yang ditetapkan oleh Rapat Paripurna bisa di evaluasi oleh DPR, termasuk Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, Hakim Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung termasuk Panglima TNI dan Kapolri.
Merujuk pada teori perundang-undangan, Peraturan DPR tidak memenuhi unsur “mengikat umum” karena sifat peraturan DPR adalah mengikat kedalam (internal). Namun, dalam substansi dan praktiknya DPR bersentuhan dengan subyek-subyek hukum di luar DPR, dapat dicermati dalam Pasal 365 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020. Pasal inilah yang bisa jadi menimbulkan multi penafsiran untuk mengartikan bahwa DPR merupakan lembaga superbody yang bisa mengevaluasi para pejabat negara yang ditetapkan sebelumnya di paripurna.
Menganggap peraturan DPR sebagai peraturan perundang-undangan yang sama dengan Undang-undang, PP, dan jenis yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011 jelas merupakan kegagalan logika DPR. Apalagi menentang asas Lex Superior derogate legi inferiori. Kedudukan peraturan DPR jelas berada dibawah UUD NRI tahun 1945 dan UU, namun ego DPR terlalu tinggi sehingga menerjemahkan mandat rakyat kepadanya untuk mengevaluasi pejabat negara yang “lahir” di sidangnya. Hak dan kewenangan DPR untuk mengajukan usulan calon Hakim MK, hakim MA, komisioner KPK, panglima TNI dan Kapolri hanya dalam konteks pemilihan anggota lembaga negara, tidak terkait dengan hak untuk mengevaluasi bahkan memberhentikan pejabat tersebut, logika ini sungguh over claim hak.
Over claim ini juga terjadi dalam penafsiran kelembagaan. Eksekutif, legislatif, yudikatif merupakan lembaga negara yang setara dan tidak subordinatif sehingga DPR tidak bisa mengklaim bahwa berhak mengevaluasi dan memberhentikan. Alih-alih ingin membenahi lembaga, apa yang dilakukan DPR ini justru menimbulkan kontroversi hukum.
Saat ini DPR sebaiknya fokus saja untuk perbaikan kelembagaan, peningkatan kapasitas dan menyusun undang-undang yang pro terhadap kesejahteraan rakyat. Soal fungsi pengawasan dapat dilakukan dengan bijaksana dan tidak menentang peraturan perundang-undangan, apalagi menentang asas sebagai jantungnya hukum.

Mrs.

banner 728x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *